Al-Imam An-Nawawi -rahimahullahu ta'ala-
Beliau adalah Al-Imam, Al-Hafizh, Syaikhul Islam, Muhyiddin, Yahya bin Syaraf bin Murry bin Hasan bin Husain bin Muhammad bin Jum’ah bin Hizam An-Nawawi. Beliau disebut juga sebagai Abu Zakariya, padahal ia tidak mempunyai anak yang bernama Zakariya. Sebab, ia belum sempat menikah. Ia termasuk salah seorang ulama yang membujang hingga akhir hayatnya. Dan mendapatkan gelar "Muhyiddin" (orang yang menghidupkan agama), padahal ia tidak menyukai gelar ini. Dan ia memang pernah mengemukakan: "Aku tidak perbolehkan orang memberikan gelar "Muhyiddin" kepadaku." Beliau lahir pada pertengahan bulan Muharram, atau pada sepuluh pertama bulan Muharram (ada yang berpendapat demikian) pada tahun 631 H. di kota Nawa, sebuah daerah di bumi Hauran, Damaskus.
Pertumbuhan dan Proses Belajarnya
Beliau diasuh dan dididik atau dibina oleh ayahnya dengan gigih, sang ayah menyuruhnya untuk menuntut ilmu sejak kecil. Hingga ia telah berhasil menghafal al-Qur-an ketika mendekati usia baligh. Beliau menghafalkan Al-Qur'an tersebut di kotanya (Nawa) yang lingkungannya tidak kondusif untuk belajar.
Setelah melihat lingkungan di Nawa yang tidak kondusif tersebut, ayahnya membawa ia pergi ke Damaskus pada tahun 649 H. Pada saat itu, usianya telah menginjak sembilan belas tahun. Dan akhirnya ia tinggal di sebuah Lembaga Pendidikan Rawahiyah. Di sana ia memulai perjalanannya menuntut ilmu. Ia tidak pernah berhenti menuntut ilmu. Ia rajin dan memberikan seluruh waktunya untuk menuntut ilmu sehingga ilmupun memberikan kepadanya sebagian darinya.
Imam Nawawi bercerita tentang dirinya: "Ketika usiaku telah mencapai 19 tahun, ayahku memboyongku pindah ke Damaskus pada saat beliau berusia 49 tahun. Di sana aku belajar di Madrasah Rawahiyyah. Selama kurang lebih 2 tahun di sana, aku jarang tidur nyenyak; penyebabnya, tidak lain adalah karena aku sangat ingin mendalami semua pelajaran yang diberikan di Madrasah tersebut. Akupun berhasil menghafal At-Tanbih (red:at-Tanbiih fii Furuu’isy-Syaafi'iyyah, karya Abu Ishaq asy-Syirazi) kurang lebih selama 4,5 bulan.
Selanjutnya, aku berhasil menghafal 114 Ibadat (sekitar seperempat) dari kitab Al-Muhadzdzab (red: Al-Muhadzdzab fil Furuu') di sisa bulan berikutnya dalam tahun tersebut. Aku juga banyak memberikan komentar dan masukan kepada syaikh kami, Ishaq Al-Maghribi. Aku juga sangat intens dalam bermulazamah dengan beliau. Beliaupun lalu merasa tertarik kepadaku ketika melihatku begitu menyibukkan diri dalam semua aktifitasku dan tidak pernah kongkow-kongkow dengan kebanyakan orang. Beliaupun sangat senang kepadaku dan akhirnya beliau mengangkatku menjadi assisten dalam halaqahnya, mengingat jama’ahnya yang begitu banyak."
Setiap hari, Imam an-Nawawi membaca dua belas pelajaran dalam bentuk syarah dan komentar. Dua pelajaran dalam kitab al-Wasiith, satu pelajaran dalam kitab al-Muhadzdzab, satu dalam kitab al-Jam’u baina ash-Shahiihain, satu dalam kitab Shahih Muslim, satu dalam kitab al-Luma', karya Ibnu Jinni, satu lainnya dalam kitab Ishlaahul Manthiq, satu pelajaran dalam kitab at-Tashriif, satu lainnya dalam Ushuulul Fiqh, satu lagi dalam kitab Asmaa' ar-Rijaal, dan satu lainnya dalam Ushuuluddiin.
Ia selalu memberikan komentar terhadap segala sesuatu yang berkenaan dengannya, baik menerangkan bahasa yang sulit dimengerti, penjelasan terhadap ungkapan yang tidak jelas, memberiharakat maupun penguraian kata-kata yang asing.
Dan Allah Subhanahu wa Ta'ala telah memberi berkah kepadanya dalam pemanfaatan waktu. Sehingga ia berhasil menjadikan apa yang telah disimpulkannya sebagai sebuah karya dan menjadikan karyanya sebagai hasil maksimal dari apa yang telah disimpulkannya.
Guru-Gurunya
(1) Di bidang fiqih dan ushulnya beliau berguru pada Ishaq bin Ahmad bin ’Utsman al-Maghribi lalu al Maqdisi, yang wafat pada tahun 650 H, Abdurrahman bin Nuh bin Muhammad al-Maqdisi kemudian ad- Dimasyqi, yang wafat pada tahun 654 H, Sallar bin aI-Hasan al-Irbali kemudian al-Halabi lalu ad-Dimasyqi, yang wafat pada tahun 670 H, Umar bin Bandar bin Umar at-Taflisi asy-Syafi’i, yang wafat pada tahun 672 H, Abdurrahman bin Ibrahim bin Dhiya’ al-Fazari, yang lebih dikenal dengan al-Farkah, wafat pada tahun 690 H.
(2) Di bidang ilmu hadits beliau berguru pada Abdurrahman bin Salim bin Yahya al-Anbari, yang wafat pada tahun 661 H, Abdul ’Aziz bin Muhammad bin Abdul Muhsin al-Anshari, yang wafat pada tahun 662 H, Khalid bin Yusuf an-Nablusi, yang wafat pada tahun 663 H, Ibrahim bin ’Isa al-Muradi, yang wafat pada tahun 668 H, Isma’il bin Abi Ishaq at-Tanukhi, yang wafat pada tahun 672 H, Abdurrahman bin Abi Umar al-Maqdisi, yang wafat pada tahun 682 H. (3) Di bidang ilmu Nahwu dan bahasa, Imam an-Nawawi pernah belajar kepada Syaikh Ahmad bin Salim al-Mishri, yang wafat pada tahun 664 H, dan juga al-’Izz al-Maliki.
Murid-muridnya
Melalui tangannya, bermunculan para ulama besar, di antaranya adalah Sulaiman bin Hilal al-Ja’fari, Ahmad Ibnu Farah al-Isybili, Muhammad bin Ibrahim bin Sa’dullah bin Jama’ah, ’Ala-uddin ’Ali Ibnu Ibrahim yang lebih dikenal dengan Ibnul ’Aththar, ia selalu menemaninya sampai ia dikenal dengan sebutan Mukhtashar an-Nawawi (an-Nawawi junior), Syamsuddin bin an--Naqib, dan Syamsuddin bin Ja’wan dan masih banyak yang lainnya.
Pujian Ulama Terhadap Beliau
Beliau adalah manusia yang sangat wara dan zuhud. Adz-Dzahabi berkata: "Beliau adalah profil manusia yang berpola hidup sangat sederhana dan anti kemewahan. Beliau adalah sosok manusia yang bertaqwa, qana’ah, wara, memiliki muraqabatullah baik di saat sepi maupun ramai. Beliau tidak menyukai kesenangan pribadi seperti berpakaian indah, makan-minum lezat, dan tampil mentereng. Makanan beliau adalah roti dengan lauk seadanya. Pakaian beliau adalah pakaian yang seadanya, dan hamparan beliau hanyalah kulit yang disamak." Beliau selalu berusaha untuk melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar sekalipun terhadap penguasa. Beliau sering berkirim surat kepada mereka yang berisi nasihat agar berlaku adil dalam mengemban kekuasaan, menghapus cukai, dan mengembalikan hak kepada ahlinya. Abul Abbas bin Faraj berkata: "Syaikh (An-Nawawi) telah berhasil meraih 3 tingkatan yang mana 1 tingkatannya saja jika orang biasa berusaha untuk meraihnya, tentu akan merasa sulit. Tingkatan pertama adalah ilmu (yang dalam dan luas).Tingkatan kedua adalah zuhud (yang sangat). Tingkatan ketiga adalah keberanian dan kepiawaiannya dalam beramar ma’ruf nahi munkar."
Wafatnya
Pada tahun 676 H. Beliau kembali ke kampung halaman-nya Nawa, sesudah mengembalikan berbagai kitab yang di-pinjamnya dari sebuah badan waqaf, selesai menziarahi makam para guru beliau, dan sehabis bersilaturrahim dengan para sahabat beliau yang masih hidup. Di hari keberangkatan beliau, para jama’ah yang beliau bina melepas kepergian beliau di pinggiran kota Damaskus, mereka lalu bertanya: "Kapan kita bisa bermuwajahah lagi (wahai syaikh)?" Beliau menjawab: "Sesudah 200 tahun." Akhirnya mereka paham bahwa yang beliau maksud adalah sesudah hari kiamat.
Sesudah berziarah ke makam orang tuanya, Baitul Maqdis, dan makam AI-Khalil (Ibrahim) 'Alaihissalam terlebih dahulu, barulah beliau meneruskan perjalanannya ke Nawa. Di sanalah (Nawa) beliau lalu jatuh sakit dan akhirnya wafat -qoddasalloohu sirroh- pada malam Rabu tanggal 24 Rajab (tahun 676 H.). Ketika kabar wafatnya beliau tersiar sampai ke Damaskus, seolah seantero Damaskus dan sekitarnya menangisi kepergian beliau. Kaum muslimin benar-benar merasa kehilangan beliau. Penguasa di saat itu, ’Izzuddin Muhammad bin Sha’igh bersama para jajarannya datang ke makam Imam Nawawi di Nawa untuk menshalatkannya. Beliau ditangisi oleh tidak kurang dari 20.000 orang atau 600 keluarga lebih. Semoga Allah selalu mencurahkan rahmat yang luas kepada beliau dan membangkitkan beliau kelak bersama mereka yang telah dikaruniai nikmat yang besar yakni dari kalangan para Nabi, Shiddiqin, Syuhada, dan Shalihin.
Kitab-Kitab Karyanya
Kitab-kitab yang berhasil beliau tulis sampai selesai adalah :
1. Ar-Raudhah (Raudhatut Thalihin). Di dalamnya, beliau membahas hukum-hukum As-Syarhul Kabir berikut penjelasan cabang-cabangnya secara detail dan mengumpulkan sekaligus mengoreksi berbagai cabang permasalahan yang semula berserakan di sana sini: Sehingga kitab ini menjadi rujukan dalam taljih, panduan dalam tash-hih, referensi para cerdik pandai dalam mengeluarkan fatwa, dan acuan para tokoh dalam membahas berbagai persoalan kontemporer.
2. Al-Minhaj: Mukhtashar Muharrar Fil Fiqh;
3. Daqa'iqul Minhaj;
4. Al-Manasikus Sughra;
5. Al-Manasikul Kubra;
6. At-Tibyan Fi Hamalatil Qur'an;
7. Tashhihut Tanbih;
8. An-Nukat 'Alat Tanbih;
9. Al-Fatawa. Kitab ini merupakan kumpulan berbagai persoalan yang tidak disusun berdasarkan tema per tema. Kitab ini lalu disusun secara tematis oleh murid beliau Syaikh 'Alauddin Al-'Aththar dengan tambahan beberapa hal penting yang didengarnya langsung dari beliau.
10. Syarh Shahih Muslim;
11. Al-Adzkar;
12. Riyadhus Shalihin;
13. Al-Arba’in;
14. Syarh Al-Arba’in;
15.Thabaqatul Fuqaha;
16. Tahdzibul Asma’ Wal Lughat. Kitab No. 15 dan 16 ini belum sempat beliau rapikan dan bersihkan dari naskah aslinya, beliau keburu wafat. Akhirnya dibersihkan dan disalin oleh Al-Hafizh Jamaluddin Al-Mazi.
17. Tashnif Fil Istiqsa’ Wa Fi Istihbabil Qiyaam Li Ahlil Fadhl; dan 18. Mukhtasharut Tashniif Fil Istisqa’. Kedua kitab yang disebut terakhir ini termasuk karya terakhir beliau.
Adapun kitab yang tidak sempat beliau tulis sampai selesai adalah:
1. Syarh Al-Muhadzdzab. Ketika tengah menyusun kitab ini-lah beliau wafat. Kitab ini, baru sampai pada pembahasan Riba;
2. At-Tahqiiq. Kitab ini baru sampai pada pembahasan Shalat Musafir;
3. Syarh Muthawwal ’Alat Tanbih. Disebut juga dengan Tuhfatut Thalibin Nabiih, baru sampai pada pembahasan Shalat;
4. Syarh Al-Wasith, disebut juga dengan At-Tanqih, baru sampai pada pembahasan Syarat Shalat; dan
5. Al-Isyarat Ila MaWaqa’a Fir Raudhah Minal Asma’ Wal Ma’ani Wal Lughat. Kitab ini baru sampai pada pemba-hasan Shalat.
Sumber: Mukhtashor Riyadhush Shalihin, Bahjatun Naazhiriin Syarh Riyaadhish Shaalihiin
Pertumbuhan dan Proses Belajarnya
Beliau diasuh dan dididik atau dibina oleh ayahnya dengan gigih, sang ayah menyuruhnya untuk menuntut ilmu sejak kecil. Hingga ia telah berhasil menghafal al-Qur-an ketika mendekati usia baligh. Beliau menghafalkan Al-Qur'an tersebut di kotanya (Nawa) yang lingkungannya tidak kondusif untuk belajar.
Setelah melihat lingkungan di Nawa yang tidak kondusif tersebut, ayahnya membawa ia pergi ke Damaskus pada tahun 649 H. Pada saat itu, usianya telah menginjak sembilan belas tahun. Dan akhirnya ia tinggal di sebuah Lembaga Pendidikan Rawahiyah. Di sana ia memulai perjalanannya menuntut ilmu. Ia tidak pernah berhenti menuntut ilmu. Ia rajin dan memberikan seluruh waktunya untuk menuntut ilmu sehingga ilmupun memberikan kepadanya sebagian darinya.
Imam Nawawi bercerita tentang dirinya: "Ketika usiaku telah mencapai 19 tahun, ayahku memboyongku pindah ke Damaskus pada saat beliau berusia 49 tahun. Di sana aku belajar di Madrasah Rawahiyyah. Selama kurang lebih 2 tahun di sana, aku jarang tidur nyenyak; penyebabnya, tidak lain adalah karena aku sangat ingin mendalami semua pelajaran yang diberikan di Madrasah tersebut. Akupun berhasil menghafal At-Tanbih (red:at-Tanbiih fii Furuu’isy-Syaafi'iyyah, karya Abu Ishaq asy-Syirazi) kurang lebih selama 4,5 bulan.
Selanjutnya, aku berhasil menghafal 114 Ibadat (sekitar seperempat) dari kitab Al-Muhadzdzab (red: Al-Muhadzdzab fil Furuu') di sisa bulan berikutnya dalam tahun tersebut. Aku juga banyak memberikan komentar dan masukan kepada syaikh kami, Ishaq Al-Maghribi. Aku juga sangat intens dalam bermulazamah dengan beliau. Beliaupun lalu merasa tertarik kepadaku ketika melihatku begitu menyibukkan diri dalam semua aktifitasku dan tidak pernah kongkow-kongkow dengan kebanyakan orang. Beliaupun sangat senang kepadaku dan akhirnya beliau mengangkatku menjadi assisten dalam halaqahnya, mengingat jama’ahnya yang begitu banyak."
Setiap hari, Imam an-Nawawi membaca dua belas pelajaran dalam bentuk syarah dan komentar. Dua pelajaran dalam kitab al-Wasiith, satu pelajaran dalam kitab al-Muhadzdzab, satu dalam kitab al-Jam’u baina ash-Shahiihain, satu dalam kitab Shahih Muslim, satu dalam kitab al-Luma', karya Ibnu Jinni, satu lainnya dalam kitab Ishlaahul Manthiq, satu pelajaran dalam kitab at-Tashriif, satu lainnya dalam Ushuulul Fiqh, satu lagi dalam kitab Asmaa' ar-Rijaal, dan satu lainnya dalam Ushuuluddiin.
Ia selalu memberikan komentar terhadap segala sesuatu yang berkenaan dengannya, baik menerangkan bahasa yang sulit dimengerti, penjelasan terhadap ungkapan yang tidak jelas, memberiharakat maupun penguraian kata-kata yang asing.
Dan Allah Subhanahu wa Ta'ala telah memberi berkah kepadanya dalam pemanfaatan waktu. Sehingga ia berhasil menjadikan apa yang telah disimpulkannya sebagai sebuah karya dan menjadikan karyanya sebagai hasil maksimal dari apa yang telah disimpulkannya.
Guru-Gurunya
(1) Di bidang fiqih dan ushulnya beliau berguru pada Ishaq bin Ahmad bin ’Utsman al-Maghribi lalu al Maqdisi, yang wafat pada tahun 650 H, Abdurrahman bin Nuh bin Muhammad al-Maqdisi kemudian ad- Dimasyqi, yang wafat pada tahun 654 H, Sallar bin aI-Hasan al-Irbali kemudian al-Halabi lalu ad-Dimasyqi, yang wafat pada tahun 670 H, Umar bin Bandar bin Umar at-Taflisi asy-Syafi’i, yang wafat pada tahun 672 H, Abdurrahman bin Ibrahim bin Dhiya’ al-Fazari, yang lebih dikenal dengan al-Farkah, wafat pada tahun 690 H.
(2) Di bidang ilmu hadits beliau berguru pada Abdurrahman bin Salim bin Yahya al-Anbari, yang wafat pada tahun 661 H, Abdul ’Aziz bin Muhammad bin Abdul Muhsin al-Anshari, yang wafat pada tahun 662 H, Khalid bin Yusuf an-Nablusi, yang wafat pada tahun 663 H, Ibrahim bin ’Isa al-Muradi, yang wafat pada tahun 668 H, Isma’il bin Abi Ishaq at-Tanukhi, yang wafat pada tahun 672 H, Abdurrahman bin Abi Umar al-Maqdisi, yang wafat pada tahun 682 H. (3) Di bidang ilmu Nahwu dan bahasa, Imam an-Nawawi pernah belajar kepada Syaikh Ahmad bin Salim al-Mishri, yang wafat pada tahun 664 H, dan juga al-’Izz al-Maliki.
Murid-muridnya
Melalui tangannya, bermunculan para ulama besar, di antaranya adalah Sulaiman bin Hilal al-Ja’fari, Ahmad Ibnu Farah al-Isybili, Muhammad bin Ibrahim bin Sa’dullah bin Jama’ah, ’Ala-uddin ’Ali Ibnu Ibrahim yang lebih dikenal dengan Ibnul ’Aththar, ia selalu menemaninya sampai ia dikenal dengan sebutan Mukhtashar an-Nawawi (an-Nawawi junior), Syamsuddin bin an--Naqib, dan Syamsuddin bin Ja’wan dan masih banyak yang lainnya.
Pujian Ulama Terhadap Beliau
Beliau adalah manusia yang sangat wara dan zuhud. Adz-Dzahabi berkata: "Beliau adalah profil manusia yang berpola hidup sangat sederhana dan anti kemewahan. Beliau adalah sosok manusia yang bertaqwa, qana’ah, wara, memiliki muraqabatullah baik di saat sepi maupun ramai. Beliau tidak menyukai kesenangan pribadi seperti berpakaian indah, makan-minum lezat, dan tampil mentereng. Makanan beliau adalah roti dengan lauk seadanya. Pakaian beliau adalah pakaian yang seadanya, dan hamparan beliau hanyalah kulit yang disamak." Beliau selalu berusaha untuk melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar sekalipun terhadap penguasa. Beliau sering berkirim surat kepada mereka yang berisi nasihat agar berlaku adil dalam mengemban kekuasaan, menghapus cukai, dan mengembalikan hak kepada ahlinya. Abul Abbas bin Faraj berkata: "Syaikh (An-Nawawi) telah berhasil meraih 3 tingkatan yang mana 1 tingkatannya saja jika orang biasa berusaha untuk meraihnya, tentu akan merasa sulit. Tingkatan pertama adalah ilmu (yang dalam dan luas).Tingkatan kedua adalah zuhud (yang sangat). Tingkatan ketiga adalah keberanian dan kepiawaiannya dalam beramar ma’ruf nahi munkar."
Wafatnya
Pada tahun 676 H. Beliau kembali ke kampung halaman-nya Nawa, sesudah mengembalikan berbagai kitab yang di-pinjamnya dari sebuah badan waqaf, selesai menziarahi makam para guru beliau, dan sehabis bersilaturrahim dengan para sahabat beliau yang masih hidup. Di hari keberangkatan beliau, para jama’ah yang beliau bina melepas kepergian beliau di pinggiran kota Damaskus, mereka lalu bertanya: "Kapan kita bisa bermuwajahah lagi (wahai syaikh)?" Beliau menjawab: "Sesudah 200 tahun." Akhirnya mereka paham bahwa yang beliau maksud adalah sesudah hari kiamat.
Sesudah berziarah ke makam orang tuanya, Baitul Maqdis, dan makam AI-Khalil (Ibrahim) 'Alaihissalam terlebih dahulu, barulah beliau meneruskan perjalanannya ke Nawa. Di sanalah (Nawa) beliau lalu jatuh sakit dan akhirnya wafat -qoddasalloohu sirroh- pada malam Rabu tanggal 24 Rajab (tahun 676 H.). Ketika kabar wafatnya beliau tersiar sampai ke Damaskus, seolah seantero Damaskus dan sekitarnya menangisi kepergian beliau. Kaum muslimin benar-benar merasa kehilangan beliau. Penguasa di saat itu, ’Izzuddin Muhammad bin Sha’igh bersama para jajarannya datang ke makam Imam Nawawi di Nawa untuk menshalatkannya. Beliau ditangisi oleh tidak kurang dari 20.000 orang atau 600 keluarga lebih. Semoga Allah selalu mencurahkan rahmat yang luas kepada beliau dan membangkitkan beliau kelak bersama mereka yang telah dikaruniai nikmat yang besar yakni dari kalangan para Nabi, Shiddiqin, Syuhada, dan Shalihin.
Kitab-Kitab Karyanya
Kitab-kitab yang berhasil beliau tulis sampai selesai adalah :
1. Ar-Raudhah (Raudhatut Thalihin). Di dalamnya, beliau membahas hukum-hukum As-Syarhul Kabir berikut penjelasan cabang-cabangnya secara detail dan mengumpulkan sekaligus mengoreksi berbagai cabang permasalahan yang semula berserakan di sana sini: Sehingga kitab ini menjadi rujukan dalam taljih, panduan dalam tash-hih, referensi para cerdik pandai dalam mengeluarkan fatwa, dan acuan para tokoh dalam membahas berbagai persoalan kontemporer.
2. Al-Minhaj: Mukhtashar Muharrar Fil Fiqh;
3. Daqa'iqul Minhaj;
4. Al-Manasikus Sughra;
5. Al-Manasikul Kubra;
6. At-Tibyan Fi Hamalatil Qur'an;
7. Tashhihut Tanbih;
8. An-Nukat 'Alat Tanbih;
9. Al-Fatawa. Kitab ini merupakan kumpulan berbagai persoalan yang tidak disusun berdasarkan tema per tema. Kitab ini lalu disusun secara tematis oleh murid beliau Syaikh 'Alauddin Al-'Aththar dengan tambahan beberapa hal penting yang didengarnya langsung dari beliau.
10. Syarh Shahih Muslim;
11. Al-Adzkar;
12. Riyadhus Shalihin;
13. Al-Arba’in;
14. Syarh Al-Arba’in;
15.Thabaqatul Fuqaha;
16. Tahdzibul Asma’ Wal Lughat. Kitab No. 15 dan 16 ini belum sempat beliau rapikan dan bersihkan dari naskah aslinya, beliau keburu wafat. Akhirnya dibersihkan dan disalin oleh Al-Hafizh Jamaluddin Al-Mazi.
17. Tashnif Fil Istiqsa’ Wa Fi Istihbabil Qiyaam Li Ahlil Fadhl; dan 18. Mukhtasharut Tashniif Fil Istisqa’. Kedua kitab yang disebut terakhir ini termasuk karya terakhir beliau.
Adapun kitab yang tidak sempat beliau tulis sampai selesai adalah:
1. Syarh Al-Muhadzdzab. Ketika tengah menyusun kitab ini-lah beliau wafat. Kitab ini, baru sampai pada pembahasan Riba;
2. At-Tahqiiq. Kitab ini baru sampai pada pembahasan Shalat Musafir;
3. Syarh Muthawwal ’Alat Tanbih. Disebut juga dengan Tuhfatut Thalibin Nabiih, baru sampai pada pembahasan Shalat;
4. Syarh Al-Wasith, disebut juga dengan At-Tanqih, baru sampai pada pembahasan Syarat Shalat; dan
5. Al-Isyarat Ila MaWaqa’a Fir Raudhah Minal Asma’ Wal Ma’ani Wal Lughat. Kitab ini baru sampai pada pemba-hasan Shalat.
Sumber: Mukhtashor Riyadhush Shalihin, Bahjatun Naazhiriin Syarh Riyaadhish Shaalihiin
0 comments:
Posting Komentar
Mohon memberikan komentar yang sesuai dengan topik artikel. Komentar Anda akan kami review dahulu sebelum ditampilkan !!!